Perlu kita tau bahwa anak bodoh itu tidak ada, karena tiap anak memiliki intelegensi yang berbeda beda.
Saat ini dunia pendidikan semakin berkembang. Dahulu anak yang dikatakan pintar adalah anak yang jago matematika dan pandai berbahasa Inggris saja. Anak-anak yang tidak menguasai dua bidang tersebut dikatagorikan anak bodoh dengan masa depan suram.
Oleh karena itulah, para orang tua berlomba-lomba memaksa anak mereka untuk menguasai dua bidang tersebut. Mereka beranggapan jika menguasai dua bidang tersebut, anak dapat dengan mudah meraih gelar kesarjanaannya. Dengan demikian, mereka juga akan dengan mudah memperoleh pekerjaan yang balk untuk kehidupannya yang cerah di masa depan.
Oleh karena itulah, para orang tua berlomba-lomba memaksa anak mereka untuk menguasai dua bidang tersebut. Mereka beranggapan jika menguasai dua bidang tersebut, anak dapat dengan mudah meraih gelar kesarjanaannya. Dengan demikian, mereka juga akan dengan mudah memperoleh pekerjaan yang balk untuk kehidupannya yang cerah di masa depan.
Jelas anggapan tersebut salah besar karena menurut Charlotte K. Priatna “Keberhasilan dalam kehidupan tidak hanya berasal dari kecerdasan logika, yaitu matematika, dan keceredasan linguistik, yaitu bahasa.”
Banyak orang yang sukses bukan karena memiliki kedua kecerdasan tersebut secara menonjol. Contohnya saja Rudy Choirudin yang sukses dalam dunia kuliner dan siapa pula yang tidak mengenal stylish terkenal Rudi Hadisuwarno. Rudy Hartono pun sukses karena bulu tangkis yang ditekuninya sejak kecil.
Mengutip teori Howard Gardner, setidaknya ada delapan jenis kecerdasan, selain dua yang telah disebutkan di atas, yaitu kecerdasan visual, musik, interpersonal, intrapersonal, kinestetik, dan naturalis.
Banyak orang yang sukses bukan karena memiliki kedua kecerdasan tersebut secara menonjol. Contohnya saja Rudy Choirudin yang sukses dalam dunia kuliner dan siapa pula yang tidak mengenal stylish terkenal Rudi Hadisuwarno. Rudy Hartono pun sukses karena bulu tangkis yang ditekuninya sejak kecil.
Mengutip teori Howard Gardner, setidaknya ada delapan jenis kecerdasan, selain dua yang telah disebutkan di atas, yaitu kecerdasan visual, musik, interpersonal, intrapersonal, kinestetik, dan naturalis.
Mungkin saat ini Anda memiliki beberapa orang anak. Namun jangan anggap, mereka memiliki jenis kecerdasan yang sama karena berasal dari kandungan yang sama. Jangan paksakan anak Anda bermain musik, jika dia lebih menonjol di kecerdasan kinestetik atau cerdas dalam bidang fisik. Andadapat mengarahkannya. menjadi seorang penari ataupun olahragawan.
Jika anak Anda cerdas dalam bidang visual, arahkan dia menjadi pelukis. Jangan desak dia menjadi seorang penulis misalnya. Anak yang memiliki kecerdasan interpersonal jangan Anda dorong menjadi peneliti karena mereka lebih tertarik berhubungan dengan orang lain. Sebaiknya juga jangan paksakan anak yang memiliki kecerdasan naturalis untuk menjadi orang yang ahli dalam bidang berkomunikasi. Biarkan dia dengan bebas mengeksplorasi alam.
Hal tersebutlah yang harus dipahami oleh orang tua. Setiap anak pasti memiliki delapan kecerdasan tersebut, tetapi porsinya saja yang berbeda-beda. Tugas orang tua adalah mencari kecerdasan yang paling menonjol. Jangan fokus pada kelemahan mereka. Setelah itu, arahkan mereka untuk dapat memaksimal kemampuan dengan pendidikan yang baik dan mendukung.
Jika anak Anda cerdas dalam bidang visual, arahkan dia menjadi pelukis. Jangan desak dia menjadi seorang penulis misalnya. Anak yang memiliki kecerdasan interpersonal jangan Anda dorong menjadi peneliti karena mereka lebih tertarik berhubungan dengan orang lain. Sebaiknya juga jangan paksakan anak yang memiliki kecerdasan naturalis untuk menjadi orang yang ahli dalam bidang berkomunikasi. Biarkan dia dengan bebas mengeksplorasi alam.
Hal tersebutlah yang harus dipahami oleh orang tua. Setiap anak pasti memiliki delapan kecerdasan tersebut, tetapi porsinya saja yang berbeda-beda. Tugas orang tua adalah mencari kecerdasan yang paling menonjol. Jangan fokus pada kelemahan mereka. Setelah itu, arahkan mereka untuk dapat memaksimal kemampuan dengan pendidikan yang baik dan mendukung.
Dan dalam mencerdaskan anak, peran guru juga sangat penting. misalnya menurut Prof. Yohanes Surya kalau ada anak kesulitan di bidang ilmu matematika, guru yang baik tidak akan pernah memarahi atau mengecap seorang anak bodoh hanya karena anak tersebut tidak mampu menjawab sebuah soal matematika. “Sebaliknya, guru harus menyemangati dan memberitahukan mana yang benar kepada anak itu,”
Menurutnya, para guru perlu diingatkan untuk selalu mendukung siswanya dengan kata-kata positif, bukan pelabelan negatif. Dengan demikian, siswa akan memiliki kesempatan untuk membuktikan kemampuannya.
“Dengan guru yang baik dan metode pembelajaran yang benar semua anak ini bisa menguasai matematika sekolah dasar hanya dalam waktu enam bulan. Jadi terbukti, masalah utama mereka adalah belum ada kesempatan dengan guru yang baik dan metode yang benar,” kata Yohanes.
Dia yakin, jika anak-anak sudah menguasai matematika, maka mereka juga akan mudah menguasi materi eksakta lainnya seperti fisika dan kimia.
Menurutnya, para guru perlu diingatkan untuk selalu mendukung siswanya dengan kata-kata positif, bukan pelabelan negatif. Dengan demikian, siswa akan memiliki kesempatan untuk membuktikan kemampuannya.
“Dengan guru yang baik dan metode pembelajaran yang benar semua anak ini bisa menguasai matematika sekolah dasar hanya dalam waktu enam bulan. Jadi terbukti, masalah utama mereka adalah belum ada kesempatan dengan guru yang baik dan metode yang benar,” kata Yohanes.
Dia yakin, jika anak-anak sudah menguasai matematika, maka mereka juga akan mudah menguasi materi eksakta lainnya seperti fisika dan kimia.
Ada beberapa catatan yang mungkin dapat untuk kita renungkan bersama, antara lain adalah:
1. Kalimat “tidak ada anak Indonesia yang bodoh”, sebuah kata optimis dan semangat nasionalis yang seharusnya dimiliki dan dijiwai oleh guru-guru, di negeri ini. Semangat untuk “memintarkan” anak didik harus selalu menjadi fikirannya.
2. “Sebodoh” apapun anak didik, kalau di “ajar” oleh guru yang baik/pintar, bermotivasi maka akan menghasilkan anak-anak didik yang pandai. Jadi dalam kasus meningkatkan kwalitas pendidikan yang lebih penting adalah menjadikan guru yang baik dan bermotivasi (ingat bahwa sertifikasi guru tujuannya adalah memprofesionalkan guru).
3. Atau Olimpiadenya yang seharusnya hanya cukup diikuti oleh anak yang “bodoh”. Sebenarnya perlu direnungkan bersama, mengapa yang menjadi juara olimpiade ini selalu dari Negara yang berkembang? Kok bukan anak dari negara maju (Jepang, Amerika, Inggris, Jerman dan lain-lain)? Dan ketika masuk ke tingkat pendidikan tinggi, negeri ini jauh ketinggalan. Bangsa kita tingkatnya hanyalah tingkat operasional (TKI intelektual), bukan menegerial. Mana anak-anak kita yang dulu juara olimpiade, menjadi apa? Ini perlu kita renungkan.
4. Jadi perlukah kurikulum kita berfakus ke olimpiade? Haruskah anak-anak kita belajar ilmu “olimpiade” jam 07.00 sampai jam 15.00, sementara banyak ilmu-ilmu yang harus dipelajari dengan cara berinteraksi dengan masyarakat. Dan haruskan mengorbankan dunianya (dunia bermain) hanya karena salah orientasi pendidikan kita?
1. Kalimat “tidak ada anak Indonesia yang bodoh”, sebuah kata optimis dan semangat nasionalis yang seharusnya dimiliki dan dijiwai oleh guru-guru, di negeri ini. Semangat untuk “memintarkan” anak didik harus selalu menjadi fikirannya.
2. “Sebodoh” apapun anak didik, kalau di “ajar” oleh guru yang baik/pintar, bermotivasi maka akan menghasilkan anak-anak didik yang pandai. Jadi dalam kasus meningkatkan kwalitas pendidikan yang lebih penting adalah menjadikan guru yang baik dan bermotivasi (ingat bahwa sertifikasi guru tujuannya adalah memprofesionalkan guru).
3. Atau Olimpiadenya yang seharusnya hanya cukup diikuti oleh anak yang “bodoh”. Sebenarnya perlu direnungkan bersama, mengapa yang menjadi juara olimpiade ini selalu dari Negara yang berkembang? Kok bukan anak dari negara maju (Jepang, Amerika, Inggris, Jerman dan lain-lain)? Dan ketika masuk ke tingkat pendidikan tinggi, negeri ini jauh ketinggalan. Bangsa kita tingkatnya hanyalah tingkat operasional (TKI intelektual), bukan menegerial. Mana anak-anak kita yang dulu juara olimpiade, menjadi apa? Ini perlu kita renungkan.
4. Jadi perlukah kurikulum kita berfakus ke olimpiade? Haruskah anak-anak kita belajar ilmu “olimpiade” jam 07.00 sampai jam 15.00, sementara banyak ilmu-ilmu yang harus dipelajari dengan cara berinteraksi dengan masyarakat. Dan haruskan mengorbankan dunianya (dunia bermain) hanya karena salah orientasi pendidikan kita?
Semoga bermanfaat. Bagi orang tua jangan pernah mengatakan anaknya bodoh dan bagi para guru, ayo kita belajar terus untuk mencerdaskan anak bangsa. hehehehehehe
semangat para guru :D