Disini pemberian bantuan tidak hanya diberikan kepada anak yang normal saja, anak berkebutuhan khusus juga perlu mendapatkan bantuan. Karena berdasarkan sejarah perkembangan pandangan masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) maka dapat dicatat bahwa kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus dan keluarganya masih banyak yang terabaikan selama bertahun-tahun hingga saat ini. Sejarah juga mencatat bagaimana tanggapan sebagian besar masyarakat terhadap keberadaan anak-anak tersebut dan keluarganya. Sebagian besar masyarakat masih ada yang menganggap kecacatan atau kelainan yang disandang oleh anak berkebutuhan khusus sebagai kutukan, penyakit menular, gila, dan lain-lain. Akibat dari itu maka ABK dan keluarga ada yang dikucilkan oleh masyarakatnya. Ada diantara ABK sendiri yang menarik diri tidak mau berbaur dengan masyarakat karena merasa cemas dan terancam.
Kondisi tersebut tentunya membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap tumbuh kembang ABK, bahkan terhadap keluarganya (kedua orangtuanya). Thompson dkk(2004) menyatakan bahwa pandangan atau penilain negatif dari lingkungan terhadap ABK dan keluarganya merupakan tantangan terbesar selain kecacatan yang disandang oleh ABK itu sendiri dan dampaknya dapat dirasakan langsung oleh yang bersangkutan beserta keluarganya. Bahkan cara pandang masyarakat yang negatif menjadi stigma yang berkepanjangan (Rahardja, 2006). Dampak yang jelas sering ditemui adalah terhadap konsep diri, prestasi belajar, perkembangan fisik, dan perilaku menyimpang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Thompson ….(2004) bahwa pandangan negatif dari masyarakat terhadap kecacatan menyebabkan citra diri yang negatif dari ABK.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka ABK membutuhkan "alat" agar dirinnya mampu mengatasi hambatan yang dialaminnya dan mampu hidup mandiri sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Alat itu diantarannya adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan diharapkan ABK memperoleh bekal hidup dan mencapai perkembangan yang optimal. Namun, dengan menumpuknya berbagai permasalahan yang dihadapi oleh ABK, tidaklah cukup melalui pendidikan dengan proses belajar mengajar dikelas. ABK juga butuh layanan yang menduukung kepada keberhasilan belajar dan layanan memandirikan untuk mencapai perkembangan yang optimal. Layanan itu adalah bimbingan dan konseling.
Meskipun pada dasarnya pelayanan Bimbingan dan Konseling yang memandirikan itu memang untuk semua konseli, termasuk bagi konseli berkebutuhan khusus dan berbakat, namun untuk mencegah timbulnya kerancuan perlu dikeluarkan dari cakupan pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan itu. Pelayanan bimbingan yang memandirikan dalam arti menumbuhkan kecakapan hidup fungsional bagi konseli yang menyandang retardasi mental, harus dilayani oleh Pendidik yang disiapkan melalui Pendidikan Guru untuk Pendidikan Luar Biasa (PG PLB). Dengan spesifikasi wilayah pelayanan ahli konselor yang lebih cermat itu, kawasan pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan itu juga perlu ditakar secara tepat, karena untuk sebahagian sangat besar pelayanan bimbingan yang memandirikan yang dibutuhkan oleh konseli yang menyandang kekurang-sempurnaan fungsi indrawi itu juga hanya bisa dilakukan oleh Pendidik yang disiapkan melalui PG PLB dengan spesialisasi yang berbeda-beda.
Pelayanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus akan amat erat kaitannya dengan pengembangan kecakapan hidup sehari-hari (daily living activities) yang tidak akan terisolasi dari konteks. Oleh karena itu pelayanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus merupakan pelayanan intervensi tidak langsung yang akan lebih terfokus pada upaya mengembangkan lingkungan perkembangan (inreach-outreach) bagi kepentingan fasilitasi perkembangan konseli, yang akan melibatkan banyak pihak di dalamnya.
Permasalahan yang dihadapi anak berkebutuhan khusus pada hakekatnya sangat kompleks dan dapat ditinjau dari berbagai segi. Secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu masalah hambatan belajar (learning barrier), kelambatan perkembangan (development delay), dan hambatan perkembangan (development disability).
1. Hambatan belajar
Munculnya permasalahan hambatan belajar anak berkebutuhan khusus dapat ditinjau dari dimensi proses ataupun hasil. Dalam pandangan teori pemrosesan informasi, hambatan dalam dimensi proses merujuk pada ketidakmampuan, ketidaksanggupan, kesulitan, kegagalan atau adanya rintangan pada individu untuk menangkap informasi melalui kegiatan memperhatikan, mengolah informasi melalui kegiatan mencamkan dan menafsirkan sehingga diperoleh pemahaman, interpretasi, generalisasi atau keputusan-keputusan tertentu, menyimpan hasil pengolahan informasi tersebut dalam ingatan, dan menggunakan atau mengekspresikan kembali dalam bentuk tindakan. Sedangkan hambatan dalam dimensi produk, berarti kegagalan individu dalam mencapai prestasi sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, kegagalan individu dalam meraih tujuan belajar yang diharapkan, atau kegagalan dalam penguasaan atau perubahan perilaku sesuai yang diharapkan, baik dalam perilaku kognitif, afektif, ataupun psikomotor. Secara akademik kegagalan tersebut akan tampak dalam penguasaan tiga ketrampilan dasar dalam belajar, yaitu: membaca, menulis, dan atau berhitung (Sunardi, 2006).
Salah satu faktor penting yang memiliki kontribusi tinggi terhadap munculnya hambatan belajar pada anak berkebutuhan khusus adalah faktor kesiapan individu untuk belajar, yaitu kesiapan anak dalam merespon situasi yang dihadapkan kepadanya secara tepat, baik karena faktor fisik , mental, emosi, atau sosial anak atau faktor lain yang bersumber pada faktor lingkungan, budaya, ataupun ekonomi. Akibat kelainan yang dihadapi, anak berkebutuhan khusus sangat rentan terhadap munculnya berbagai hambatan dalam belajar. Sedangkan hambatan belajar yang muncul hakekatnya dapat beragam sesuai dengan kondisi anak dan komplesitas faktor-faktor yang mempengaruhi, dan khas atau unik untuk masing-masing anak. Secara umum, hambatan belajar yang cenderung dihadapi oleh anak berkebutuhan khusus antara lain hambatan belajar ketrampilan motorik, bahasa, kognitif, persepsi, emosi, dan perilaku adaptif atau gabungan dari hal-hal tersebut. Dari dimensi akademis kesulitan tersebut dapat berupa kesulitan dalam penguasan keterampilan dasar belajar, seperti menulis, membaca, dan berhitung. Hambatan belajar seringkali muncul sejak anak usia pra-sekolah dan akan berkembang semakin berat dan kompleks jika didukung oleh lingkungan yang kurang menguntungkan, terutama oleh lingkungan keluarga yang tidak peduli terhadap permasalahan yang dihadapi anaknya. Dampak dikemudian hari, disamping akan lebih sulit untuk diatasi juga dapat bersiko kepada mahalnya beaya pendidikan yang harus dikeluarkan. Belajar adalah memberi pengalaman secara luas pada semua aspek perkembangan. Karena itu dalam membantu mengatasi hambatan belajar anak harus dilakukan dengan membuka pengalaman secara luas kepada anak, sehinga dapat membantu dan mendorong seluruh aspek perkembangan anak secara komprehensif dan dilakukan sejak dini.
2. Kelambatan perkembangan
Dalam
perkembangannya menjadi manusia dewasa, seorang anak berkembang melalui
tahapan tertentu. Sekalipun irama atau kecepatan perkembangan setiap
anak berbeda-beda, namun muncul kecenderungan bahwa pada anak
berkebutuhan khusus beresiko terhadap munculnya kelambatan atau
penyimpangan perkembangan sesuai dengan umur dan milestone perkembangan,
sehingga harus tetap diwaspadai. Sebab, akibat kelainan, kecacatan,
atau kondisi-kondisi terntentu yang tidak menguntungkan dan
menjadikannya anak berkebutuhan khusus, dapat berpengaruh atau
menghambat perkembangan kemampuan, prestasi, dan atau fungsinya, dapat
menjadikan anak memerlukan waktu yang lebih lama dalam belajar menguasai
keterampilan tertentu dibandingkan dengan anak-anak normal pada
umumnya, atau menjadikan datangnya kematangan belajar menjadi terlambat.
Anak-anak berkebutuhan khusus, baik karena kecatatan atau akibat
kondisi tertentu dapat menyebabkan functional isolationism 'isolasi
diri' yaitu kecenderungan mempertahankan untuk mengurangi kegiatan
interaksi sosial, aktivitas, dan perilaku eksploratori. Akibatnya, anak
menjadi tidak aktif, apatis, dan pasif, malu, malas, dan kurang
motivasi. Dalam keadaan demikian, aspek-aspek esensial dan universal
yang diperlukan untuk perkembangan optimal menjadi ditekan, sehingga
tidak berfungsi sebagai mana mestinya, dan akhirnya memunculkan
kelambatan dalam perkembangannya. Untuk mengidentifikasi apakah anak
mengalami kelambatan perkembangan, cara yang paling mudah adalah dengan
membandingkan taraf kemampuan anak sesuai dengan anak-anak seusianya.
Bila dijumpai adanya keterlambatan atau penyimpangan, maka harus
dicurigai apakah kelambatan tersebut merupakan variasi normal atau suatu
kelainan yang serius sebagai akibat kelainan atau kecacatannya, dan
apabila hal tersebut diguga kuat akibat kelainan atau kecacatannya, maka
hendaknya dilakukan penanganan secara intensif dan sedini mungkin agar
tidak berkembang semakin kompleks dan upaya mengatasinya tidak semakin
sulit, anak dapat mengejar ketertinggalannya, serta untuk memperkecil
potensi terhadap terjadinya kelambatan dalam perkembangan selanjutnya.
Pada umumnya, dokter menjadi orang pertama yang mengidentifikasi
faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kelambatan perkembangan dan
kelainan. Hal ini dikarenakan dokter merupakan orang yang paling sering
berhubungan dengan orang tua (terutama ibu-ibu) sehingga memiliki data
dan informasi yang terkait dengan riwayat/catatan kesehatan ibu dan
anaknya selama mengandung, saat melahirkan, maupun setelah lahir,
sehingga dapat mengetahui apakah bayi tersebut memiliki faktor resiko
atau tidak, berkelainan atau tidak, serta memberikan saran-saran
terhadap orang tua dalam beradaptasi dengan anaknya (Fallen dan
Umansky,1985). Dalam pandangan ekologis, kelambatan perkembangan pada
anak berkebutuhan khusus dapat terjadi sebagai dampak ketidakmampuan
lingkungan, terutama orang tua dan orang lain yang signifikan (misal
pengasuh) untuk menjalin interaksi yang seimbang, selaras, dan
berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak (progressive
macthing). Untuk itu lingkungan melalui interaksi yang diciptakannya,
harus dapat menjadi partner bagi laju perkembangan normal anak.
3. Hambatan perkembangan
Antara
hambatan belajar, kelambatan perkembangan, dan hambatan perkembangan
merupakan hal sebenarnya sulit untuk dipisahkan karena saling terkait
satu dengan yang lain, namun dapat dibedakan. Secara umum, kelambatan
perkembangan lebih menekankan kepada dimensi tahapan perkembangan,
sedangkan hambatan perkembangan lebih fokus kepada terjadinya kesulitan,
kegagalan, rintangan, atau gangguan dalam satu atau lebih aspek
perkembangan. Adanya hambatan dalam aspek perkembangan tertentu dapat
berdampak kepada kelambatan perkembangan yang tertentu pula, dengan kata
lain kelambatan perkembangan tertentu hakekatnya merupakan manifestasi
adanya hambatan dalam satu atau lebih aspek perkembangan. Sedangkan
terjadinya hambatan perkembangan juga tidak lepas dari adanya hambatan
dalam belajar. Sebagaimana diketahui bahwa akibat kelainan atau
kondisi-kondisi tertentu yang dialaminya anak berkebutuhan khusus,
secara potensial memiliki resiko tinggi terhadap munculnya hambatan
dalam berbagai aspek perkembangan, baik fisik, psikologis, sosial atau
bahkan dalam totalitas perkembangan kepribadiannya. Untuk memahami
tentang hambatan perkembangan pada anak berkebutuhan khusus, kita tidak
bisa melepaskan diri dari kajian tentang perkembangan manusia pada
umumnya. Dalam pandangan ekologi, perkembangan manusia merupakan hasil
dinamika interaksi atau transaksi antara kekuatan internal dan kekuatan
eksternal. Interaksi merupakan dasar bagi perkembangan manusia.
Interkasi diartikan sebagai aktivitas saling mempengaruhi, sedangkan
bentuk interaksi yang terjadi kemungkinan adalah individu dipengaruhi
lingkungan, lingkungan dipengaruhi individu, atau individu dan
lingkungan secara dinamis berinteraksi satu sama lain sehingga mengalami
perubahan. Atas dasar ini, keragaman perilaku dan perkembangan hanya
dapat dipahami secara utuh dalam konteks individu tersebut dengan
lingkungannya. Individu adalah bagian tak terpisahkan dari
lingkungannya. Anak adalah bagian dari “sistem”, terutama terhadap
lingkungan yang terdekatnya (mini social system). Keragaman terjadi
sebagai hasil transaksi antara masing-masing individu dengan
lingkungannya yang tiada henti (intensif dan berkesinambungan) dalam
suatu proses yang dinamis dan saling mempengaruhi. Hambatan perkembangan
pada anak berkebutuhan khusus dapat terjadi apabila dalam keseluruhan
atau sebagian interaksi antara anak berkebutuhan khusus dengan
lingkungan, lingkungan kurang mampu menyediakan struktur kemudahan,
kesempatan atau peluang, stimulasi atau dorongan, dan keteladanan bagi
berkembangnya fitrah, potensi, atau kompentensi pribadi anak
berkebutuhan khusus secara positif, fungsional, serta bermakna bagi
perkembangan optimal anak. Kondisi ini pada umumnya ditandai dengan
adanya gaps, discrepancy, disparity, discordance, disharmony, atau
imbalance antara kemampuan anak dengan tuntutan lingkungan.
Munculnya
hambatan perkembangan pada anak, sebagai hasil interaksi yang tidak
positif, fungsional, dan bermakna antara anak berkebutuhan khusus dengan
lingkungannya, dapat termanifestasi dalam salah satu atau lebih aspek
perkembangan, meliputi perkembangan konsentrasi, atensi, persepsi,
motorik, interaksi dan komunikasi, serta perkembangan emosi, sosial, dan
tingkah laku, atau gabungan dari hal-hal tersebut. Diantara
hambatan-hambatan perkembangan di atas, hambatan emosi, sosial, dan
perilaku merupakan masalah-masalah yang banyak ditemui pada anak-anak
berkebutuhan khusus. Anak dengan hambatan perkembangan emosi, sosial,
dan perilaku pada umumnya ditandai dengan ketidakmampuannya untuk
menyesuaikan diri secara tepat terhadap lingkungannya atau munculnya
gejala-gejala perilaku yang tidak diharapkan berdasar atas kriteria
normatif yang berlaku di lingkungannya. Hambatan emosi yang terjadi pada
anak-anak berkebutuhan khusus, pada umumnya disebabkan oleh adanya
deprivasi emosi, yaitu kurangnya kesempatan yang diberikan oleh
lingkungan, terutama orang tua, kepada anak untuk mendapatkan pengalaman
emosional yang menyenangkan, khususnya cinta, kasih sayang, perhatian,
kegembiraan, kesenangan, kepuasan, dan rasa ingin tahu. Hal ini
mengingat tidak ada satu orang tua pun yang mengharapkan anaknya lahir
dalam keadaan cacat atau berkelainan, karena itu kehadiran anak
berkebutuhan khusus (cacat) di tengah-tengah keluarga cenderung
melahirkan berbagai krisis psikologis. Pertama, krisis “kematian
simbolik” (symbolic death) yaitu hancurnya cita-cita terhadap anak yang
didambakan, dan kedua, krisis yang berkaitan dengan perawatan bimbingan,
pendidikan, dan pengasuhan. Kondisi ini yang pada akhirnya kemudian
bermuara kepada lahirnya sikap-sikap penolakan, dan sikap ini dapat
terus berlangsung sepanjang kehidupan anak. Sikap penolakan menjadikan
keberfungsian orang tua selaku pengasuh, pembimbing, dan pendidik
anaknya tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Sementara itu, pola
emosi pada masa anak-anak menunjukkan kecenderungan untuk tetap bertahan
kecuali jika anak yang bersangkutan mengalami perubahan radikal dalam
segi kesehatan, lingkungan, atau hubungan personal atau sosialnya.
Karena itu apabila hal ini berlangsung pada masa kanak-kanak, apalagi
terus berlanjut dalam waktu yang relatif lama, jelas tidak akan
menguntungkan bagi perkembangan emosi anak, karena akan lebih banyak
belajar dari keluarga atau lingkungannya tentang respon-respon yang
tidak menyenangkan (unpleasant response) dari pada kesempatan untuk
belajar dari respon yang menyenangkan (pleasant response). Dengan kata
lain anak akan mendapat sedikit kesempatan untuk belajar mengekspresikan
dan mengendalikan emosinya secara tepat menuju tercapainya kesimbangan
emosi.